(1) Saat itu, aku isim mufrod, tunggal sendiri saja. Seperti kalimat huruf, sendiri tak bermakna. Seperti fi’il laazim, mencinta tak ada yg dicinta.
(2) Tak mau terpuruk & terdiam, aku harus jadi mubtada’, memulai sesuatu. Menjadi seorang fa’il, yg berawal dari fi’il.
(3) Tapi aku seperti fi’il mudhori’ alladzii lam yattashil biaakhirihii syaiun. Mencari sesuatu, tapi tak bertemu sesuatupun di akhir.
(4) Bertemu dgmu adalah khobar muqoddam, sebuah kabar yg tak disangka. Aku pun jadi mubtada’ muakkhor, perintis yg kesiangan.
(5) Aku mulai dg sebuah kalam, dari susunan beberapa lafadz yg mufid, terkhusus untuk dirimu dg penuh mak’na.
(6) Dari sini semua bermula. Aku & kamu, bagaikan idhofah, aku mudhof, kamu mudhof ilaih. Tak bisa dipisahkan.
(7) Cintaku padamu, ber i’rob rofa’. Tinggi, Bertanda dhummah. Bersatu, Cinta kita bersatu, mencapai derajat yg tinggi.
(8) Saat mengejar cintamu, aku cuma isim ber i’rob nashob, Susah payah yg bertanda fathah . Terbuka.
(9) Hanya dg bersusah payah maka jalan itu kan terbuka. Setelah mendapatkan cintamu, tak mau aku seperti isim yg kofdh.
(10) Hina & rendah. Bertanda Kasroh. Terpecah belah. Jk kita berpecah belah tak bersatu, rendahlah derajat cinta kita.
(11) Karenanya, kan kujaga cinta kita, layaknya isim yg ber i’rob jazm. Penuh kepastian. Bertanda dg sukun. Ketenangan.
(12) Kan kita gapai cinta yg penuh damai saat semua terikat dg kepastian tanpa ragu-ragu.
Jumat, 12 Juli 2013
Sajak Cinta Ala Nahwu
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus